PULANG bagiku adalah kekecewaan,
sama sajaa ke rumah ibu atau bapak. Nun jauh disana, sebuah desa di tengah
pulau Sumatra, bapak asyik dengan dzikir-dzikirnya. “taka da guna memikirkan
dunia,” dia beralasan. Jaddilah ia penghuni masjid tua tanpa peduli urusan
keluarga. Hari harinya adalah gumaman asm dan doa.
Diseberang
sana, jauh di pulau jawa, ibuku sibuk dengan dunianya. Terlalu kejam bila ku katakan
ibu hanya memikirkan materi, karena ia tengah mencukupi kebutuhan anak-anaknya.
Kerja keras adalah motto hidupnya. Tapi saying, suaminya bukan tipe penayang
anak tiri, kupikir. Mungkin itu juga penyebab perpisahan mereka. Memutuskan
untuk menjalani hidup masing-masing. Entahlah, perceraian mungkin keputusan
pilng baik bagi orang dewasa. Tapi tetap
saja menjadi kata kata yang sangat menakutkan bagi anak-anak yang msih butuh
orang tua. Aku merasa tak punya siapa-siapa.
Sekarang
di ujung pulau Sumatra aku mencari duniaku sendiri, membangun istana impian,
menjadi ratu dengan seribu dayang-dayang, berdiri diatas singgasana berlian. Ah, istana impian
itu hanya sebuah rumah petak sangat sederhana, tempat aku dan kedua temanku
berteduh. Aku bukanlah seorang ratu, aku hnya seorang buruh pabrik. Tapi
penghasilanku cukup untuk menahanku dari meminta kepada orang lain termasuk
orang tuaku. Tiga tahun sudah kubiarkan berlalu. tanpa kabar, tanpa
apa-apa. Dulu, sesekali aku msih
berkirim surat, tetapi tak sekalipun keuterima balasannya. Sekarang entah pa
yang terjadi pada mereka aku tidak tahu. Tidak! Bukan aku tak peduli, jangan
pula kau katakana aku tak sayang kepada
orang tuaku,. Tapi kekecewaanku teramat dalam. Mjungkin menurutmu aku anak
durhaka. Terserahlah, sungguh tak pernah lupa kusebut keduanya dalam setiap
doa.
Aku
berdiri menatap foto itu, disamping tangkai-tangkai bunga-bunga kertas dalam
pot kaca. Bingkainya yang indah tak menjadikannya tampak lebih muda dari
usianya yang menginjak 15 tahun. Santi kecil bersama ibu bapaknya. Dulu, kami
sering pergi kepantai sekedar untuk mencari kulit kerang atau bermain bersama
ombak. Waktu itu umurku baru 5 tahun. Kenangan terindah yang pernah kumiliki
bersama orang tuaku, karena sesudah itu hanya ada pertengkaran hingga berakhir
dengan kata “cerai”.
“kau merindukan mereka.” Tanya
Sari suadah adda di belakangku.
“dewi kemana?” kucoba mengalihkan
pembicaraan.
“dia sudah pulang tadi waktu kau
pergi kepasar, katanya mau liburan di kampung.”
“kau pun pulanglah!” Kata-kata
sari mengejutkanku.
“pulang kemana?” aku seolah
bertanya padda diriku sendiri.
“kemana saja,” Sari menjawab
seadanya.
“aku tak punya siapa-siapa…”
Wajahku keras.
“kau masih punya orang tua,
pulanglah”
“aku tak mau, luka itu belum
sembuh”
“kau bukannya tak mau, hanya saja
hatimu terlalu beku, pulanglah…” untuk ketiga kalinya dia menyuruhku pulang.
Aku mulai mara. “apa urusanmu
menyuruhku pulang?aku punya hak untuk tetap tinggal disini.”
“Apakah waktu tiga tahun tak
menjadikan kita bersaudara? Kau terlalu egois.” Ucapanya menusuk jantungku.
“bagai manapun mereka orang
tuamu, yang telah membesarkanmu. Kau tidak boleh menjadi anak durka karena
telah mengabaikannya. Lukamu adalah cobaan untuk sebuah perjalanan hidup, semua
pasti ada hikmahnya”.
Dari mana pula dia dapat
kata-kata itu. Terlalu indan memang untuk diucapkan, tapi bagiku terlalu
menyakitkan. Itu sama saja dengan meremehkan apa yang telah kualami selama ini.
Aku menggelangkan kepalaku kuat.
“aku tidak lupa makan nasi dengan
kuah nasi putih, aku masih ingat setiap malam menangis karena bingung harus
menceritakan persoalan hidupku pada siapa. Aku juga tak lupa berhenti kuliah.
Karena tidak bias membayar SPP. Mereka tak pernah menanyaiku, tak pernah
memperhatikanku. Tidak juga mengajarkanku bagaimana berlaku baik kepada orang
tua. Aku terpaksamengubur cita-citaku
sarjana tehnik…” sauraku tertahan, mataku mulai merah.
“kau tak akan pernah mengerti,”
aku terhenyak.
Aneh,rasanya beban dihatiku mulai
berkurang, mungkinkah karena aku telah menceeritakannya?
“aku bahkan lebih mengerti darri
apa yang kau rasakan. Apa kau tau rasanya diejek anak haram, tak punya bapak?a
kau tau rasanya jadi pembantu dan ditinggal mati ibu? Aku bahkan sampai
sekarang tak kenal wajah bapak seperti apa,” suara Sari bergetar mencoba untuk
tenang. Sungguh aku tak tahu kalau sari punya kehidupan seperti itu. Aku
tertegun.
“kau lebih beruntung dariku, tapi
kau terlalu lemah:pikirmu kau telah menjadi orang paling menderita didunia.
Padahal banyak orang yang nasibnya jauh lebih buruk darimu. Tidakkah kau hitung
berpa banyak hikmah yang bisa kau ambil dari perjalanan hidupmu? Tidakkkah kau
merasa punya kenangan indah bersama orang tuamu, tidakkah kau merassa punya
kenangan indah bersama orang tuamu, tidakkah kau rindu mereka? Mengapa tak
menerima semuanya sebagai takdir?”
Aku terdiam. Sulit bagiku untuk
mencerna kata-kata Sari. Tapi kupikir benar juga. Aku masih lebih beruntung,
tapi aku tak tahu mengapa hatiku terlalu angkuh untuk mengakui semuanya. Aku
hanya bisa diam.
“pikirkanlah lagi, berdoalah agar
Allah melembutkan hatimu.”
Aku
terpana melihat sari meninggalkanku. Tak lama ku dengar suara mengaji. Dia
banyak berubah sekarang, aku tak tahu pasti kenapa. Mungkin sejak ia kenal Ida,
mahasiswi berjilbab di seberang rumah kami. Kudengar adzaan maghrib
berkumandang, segera aku berwudhu. Berharap bisa menemukan kedamaian dalam Shalatku.
Mendo’akan hatiku yang sekeras batu. Ya Allah, ampuni hamba.
. . .
Semalaman
aku berfikir tentang pulang, kucoba
membumikan hatiku yang beku, melangitkan rindu pada ibu, mengukir rasa
terima kasih untuk bapak, memahami
semuanya sebagai takdir, memungut hikmah di ujung perjalananku.
Aku
berjalan keruang tamu, kulihat Sari membersihkan bunga-bunga kertas yang mulai
berdebu. Aku ikut duduk disampingnya, ikut meniup debu pada bunga kertas.
“ikutlah
denganku,” kataku.
“kemana?”
ia bertanya.
“kemana
saja.” Kujawab seadanya.
“aku
tak punya siapa-siapa,” Sari mulai memunguti bunga-bunga kertas itu dan
menyusunya didalam pot kaca.
“kau
masih punya saudara,” aku berhenti meniup bunga kertas.
“Apakah
waktu tiga tahun tak menjadikan kita bersaudara? Aku mengulangi pertanyaan sari
kemarin. Sari berhenti memungut bunga kertas. Ia tersenyum...
Karya
0 Responses to "Bunga-Bunga Kertas"
Posting Komentar