0

Bunga-Bunga Kertas

Rabu, 13 Februari 2013



PULANG bagiku adalah kekecewaan, sama sajaa ke rumah ibu atau bapak. Nun jauh disana, sebuah desa di tengah pulau Sumatra, bapak asyik dengan dzikir-dzikirnya. “taka da guna memikirkan dunia,” dia beralasan. Jaddilah ia penghuni masjid tua tanpa peduli urusan keluarga. Hari harinya adalah gumaman asm dan doa.
                Diseberang sana, jauh di pulau jawa, ibuku sibuk dengan dunianya. Terlalu kejam bila ku katakan ibu hanya memikirkan materi, karena ia tengah mencukupi kebutuhan anak-anaknya. Kerja keras adalah motto hidupnya. Tapi saying, suaminya bukan tipe penayang anak tiri, kupikir. Mungkin itu juga penyebab perpisahan mereka. Memutuskan untuk menjalani hidup masing-masing. Entahlah, perceraian mungkin keputusan pilng baik bagi orang dewasa.  Tapi tetap saja menjadi kata kata yang sangat menakutkan bagi anak-anak yang msih butuh orang tua. Aku merasa tak punya siapa-siapa.
                Sekarang di ujung pulau Sumatra aku mencari duniaku sendiri, membangun istana impian, menjadi ratu dengan seribu dayang-dayang, berdiri  diatas singgasana berlian. Ah, istana impian itu hanya sebuah rumah petak sangat sederhana, tempat aku dan kedua temanku berteduh. Aku bukanlah seorang ratu, aku hnya seorang buruh pabrik. Tapi penghasilanku cukup untuk menahanku dari meminta kepada orang lain termasuk orang tuaku. Tiga tahun sudah kubiarkan berlalu. tanpa kabar, tanpa apa-apa.  Dulu, sesekali aku msih berkirim surat, tetapi tak sekalipun keuterima balasannya. Sekarang entah pa yang terjadi pada mereka aku tidak tahu. Tidak! Bukan aku tak peduli, jangan pula kau katakana aku tak sayang  kepada orang tuaku,. Tapi kekecewaanku teramat dalam. Mjungkin menurutmu aku anak durhaka. Terserahlah, sungguh tak pernah lupa kusebut keduanya dalam setiap doa.
                Aku berdiri menatap foto itu, disamping tangkai-tangkai bunga-bunga kertas dalam pot kaca. Bingkainya yang indah tak menjadikannya tampak lebih muda dari usianya yang menginjak 15 tahun. Santi kecil bersama ibu bapaknya. Dulu, kami sering pergi kepantai sekedar untuk mencari kulit kerang atau bermain bersama ombak. Waktu itu umurku baru 5 tahun. Kenangan terindah yang pernah kumiliki bersama orang tuaku, karena sesudah itu hanya ada pertengkaran hingga berakhir dengan kata “cerai”.
“kau merindukan mereka.” Tanya Sari suadah adda di belakangku.
“dewi kemana?” kucoba mengalihkan pembicaraan.
“dia sudah pulang tadi waktu kau pergi kepasar, katanya mau liburan di kampung.”
“kau pun pulanglah!” Kata-kata sari mengejutkanku.
“pulang kemana?” aku seolah bertanya padda diriku sendiri.
“kemana saja,” Sari menjawab seadanya.
“aku tak punya siapa-siapa…” Wajahku keras.
“kau masih punya orang tua, pulanglah”
“aku tak mau, luka itu belum sembuh”
“kau bukannya tak mau, hanya saja hatimu terlalu beku, pulanglah…” untuk ketiga kalinya dia menyuruhku pulang.
Aku mulai mara. “apa urusanmu menyuruhku pulang?aku punya hak untuk tetap tinggal disini.”
“Apakah waktu tiga tahun tak menjadikan kita bersaudara? Kau terlalu egois.” Ucapanya menusuk jantungku.
“bagai manapun mereka orang tuamu, yang telah membesarkanmu. Kau tidak boleh menjadi anak durka karena telah mengabaikannya. Lukamu adalah cobaan untuk sebuah perjalanan hidup, semua pasti ada hikmahnya”.
Dari mana pula dia dapat kata-kata itu. Terlalu indan memang untuk diucapkan, tapi bagiku terlalu menyakitkan. Itu sama saja dengan meremehkan apa yang telah kualami selama ini. Aku menggelangkan kepalaku kuat.
“aku tidak lupa makan nasi dengan kuah nasi putih, aku masih ingat setiap malam menangis karena bingung harus menceritakan persoalan hidupku pada siapa. Aku juga tak lupa berhenti kuliah. Karena tidak bias membayar SPP. Mereka tak pernah menanyaiku, tak pernah memperhatikanku. Tidak juga mengajarkanku bagaimana berlaku baik kepada orang tua.  Aku terpaksamengubur cita-citaku sarjana tehnik…” sauraku tertahan, mataku mulai merah.
“kau tak akan pernah mengerti,” aku terhenyak.
Aneh,rasanya beban dihatiku mulai berkurang, mungkinkah karena aku telah menceeritakannya?
“aku bahkan lebih mengerti darri apa yang kau rasakan. Apa kau tau rasanya diejek anak haram, tak punya bapak?a kau tau rasanya jadi pembantu dan ditinggal mati ibu? Aku bahkan sampai sekarang tak kenal wajah bapak seperti apa,” suara Sari bergetar mencoba untuk tenang. Sungguh aku tak tahu kalau sari punya kehidupan seperti itu. Aku tertegun.
“kau lebih beruntung dariku, tapi kau terlalu lemah:pikirmu kau telah menjadi orang paling menderita didunia. Padahal banyak orang yang nasibnya jauh lebih buruk darimu. Tidakkah kau hitung berpa banyak hikmah yang bisa kau ambil dari perjalanan hidupmu? Tidakkkah kau merasa punya kenangan indah bersama orang tuamu, tidakkah kau merassa punya kenangan indah bersama orang tuamu, tidakkah kau rindu mereka? Mengapa tak menerima semuanya sebagai takdir?”
Aku terdiam. Sulit bagiku untuk mencerna kata-kata Sari. Tapi kupikir benar juga. Aku masih lebih beruntung, tapi aku tak tahu mengapa hatiku terlalu angkuh untuk mengakui semuanya. Aku hanya bisa diam.
“pikirkanlah lagi, berdoalah agar Allah melembutkan hatimu.”
                Aku terpana melihat sari meninggalkanku. Tak lama ku dengar suara mengaji. Dia banyak berubah sekarang, aku tak tahu pasti kenapa. Mungkin sejak ia kenal Ida, mahasiswi berjilbab di seberang rumah kami. Kudengar adzaan maghrib berkumandang, segera aku berwudhu. Berharap bisa menemukan kedamaian dalam Shalatku. Mendo’akan hatiku yang sekeras batu. Ya Allah, ampuni hamba.
. . .
                Semalaman aku berfikir  tentang pulang, kucoba membumikan hatiku yang beku, melangitkan rindu pada ibu, mengukir rasa terima  kasih untuk bapak, memahami semuanya sebagai takdir, memungut hikmah di ujung perjalananku.
                Aku berjalan keruang tamu, kulihat Sari membersihkan bunga-bunga kertas yang mulai berdebu. Aku ikut duduk disampingnya, ikut meniup debu pada bunga kertas.
                “ikutlah denganku,” kataku.
                “kemana?” ia bertanya.
                “kemana saja.” Kujawab seadanya.
                “aku tak punya siapa-siapa,” Sari mulai memunguti bunga-bunga kertas itu dan menyusunya didalam pot kaca.
                “kau masih punya saudara,” aku berhenti meniup bunga kertas.
                “Apakah waktu tiga tahun tak menjadikan kita bersaudara? Aku mengulangi pertanyaan sari kemarin. Sari berhenti memungut bunga kertas. Ia tersenyum...

Ditulis : January 1992

0 Responses to "Bunga-Bunga Kertas"

Slider(Do not Edit Here!)