Bid’ah
dalam Berjabat Tangan
Mengucapkan
salam dan berjabat tangan kepada sesama Muslim adalah perkara yang terpuji dan
disukai dalam Islam. Dengan perbuatan ini hati kaum Muslimin dapat saling
bersatu dan berkasih sayang di antara mereka. Namun apa yang terjadi jika
perbuatan terpuji ini dilakukan tidak pada tempat yang semestinya? Tidak ada
kebaikan yang didapat bahkan pelanggaran syariatlah yang terjadi.
Kita
tidak mengetahui dari salah seorang sahabat pun atau Salafush Shalih Radhiyallahu
Anhum bahwa apabila mereka selesai dari shalat menoleh ke kanan dan ke kiri
untuk menjabat tangan orang di sekitarnya agar diberkahi sesudah shalat.
Seandainya
salah seorang dari mereka melakukan hal itu, sungguh akan dinukilkan bagi kita
meskipun dengan sanad yang lemah dan ulama akan menyampaikan kepada kita karena
mereka terjun di semua lautan lalu menyelam ke bagian yang terdalam dan
menngeluarkan hukum-hukum darinya. Mereka tidak mungkin menyepelekan sunnah
Qauliyyah, Fi’liyyah, Taqririyyah atau sifat (sabda, perbuatan, persetujuan
atau sifat Rasulullah Shalallahu Alaihi Wa Sallam ) [ Tamam Al Kalaam fi Bid’ah
Al Mushafahah Ba’da As Salaam hal. 24 - 25 dan Al Masjid fi Al Islam, hal. 225
]
Kebaikan
seluruhnya dalam mengikuti Rasul Rasulullah Shalallahu Alaihi Wa Sallam (Fatawa
Al Izzi Bin Abdus Salam hal. 46 – 47 dan lihat Al Majmu’ 3/488)
Syaikh
Al Albani berkata dalam As Silsilah As Shahihah 1/23 : “Adapun jabat tangan
setelah shalat adalah bid’ah yang tidak ada keraguan padanya, kecuali antara
dua orang yang belum bersua sebelumnya. Maka hal itu adalah sunnah.”
Al
Luknawi berkata setelah menyebutkan silang pendapat tentang jabat tangan
setelah shalat : “Di antara yang melarang perbuatan itu adalah Ibnu Hajar Al
Haitami As Syafi’i, Quthbuddin Bin ‘Ala’ddin Al Makki Al Hanafi dan Fadlil Ar
Rumi dalam Majalis Al Abrar menggolongkannya termasuk dari bid’ah yang jelek,
ketika beliau berkata : “Berjabat tangan adalah baik saat brtemu. Adapun selain
saat bertemu misalnya keadaan setelah shalat Jum’at dan dua hari raya
sebagaimana kebiasaan di zaman kita adalah perbuataan tanpa landasan hadits dan
dalil !” Padahal telah diuraikan pada tempatnya bahwa tidak ada dalil berarti
tertolak dan tidak boleh taqlid padanya (sumber yang sama dan Ad Dienul Al Khalish
4/314, Al Madkhal 2/84, dan As Sunan wa Al Mubtada’at hal. 72 dan 87)
Beliau
juga berkata : “Sesungguhnya ahli fikih dari kelompok Hanafiyyah, Syafi’iyyah
dan Malikiyyah menyatakan dengan tegas tentang makruh dan bid’ahnya. Beliau
berkata dalam Al Multaqath : “Makruh (tidak disukai) jabat tangan setelah
shalat dalam segala hal karena Shahabat tidak saling berjabat tangan setelah
shalat dan bahwasannya perbuatan itu termasuk kebiasaan-kebiasaan Rafidhah.
Ibnu Hajar, seorang ulama Syafi’iyyah berkata : “Apa yang dikerjakan oleh
manusia berupa jabat tangan setelah shalat lima waktu adalah perkara yang
dibenci, tidak ada asalnya dalam syariat.”
Dan
alangkah fasihnya perkataan Beliau Rahimahullahu Ta’ala dari Ijtihad dan
Ikhtiarnya. Beliau berkata : Pendapat saya : “Sesungguhnya mereka telah sepakat
bahwa jabat tangan (setelah shalat ) ini tidak ada asalnya dari syariat”.
Kemudian mereka berselisih tentang makruh atau mubah. Suatu masalah yang
berputar antara makruh atau mubah, harus difatwakan untuk melarangnya, karena
menolak mudharat lebih utama daripada menarik maslahah. Lalu kenapa dilakukan
padahal tidak ada keutamaan mengerjakan perkara yang mubah?
Sementara
orang-orang yang melakukannya di jaman kita menganggapnya sebagai perkara yang
baik, menjelek-jelekkan dengan sangat orang yang melarangnya dan mereka terus
menerus dalam perkara itu. Padahal terus menerus dalam perkara yang mandub
(sunnah) secara berlebihan akan menghantarkan pada batas makruh. Lalu bagaimana
jika terus menerus dalam perkara yang bid’ah yang tidak ada asalnya dalam
syariat?
Akhirnya
sebagai penutup harus diperingatkan bahwa tidak boleh bagi seorang Muslim
memutuskan tasbih (dzikir) saudaranya yang Muslim, kecuali dengan sebab yang
syar’i. Yang kami saksikan berupa gangguan terhadap kaum Muslimin ketika mereka
melaksanakan dzikir-dzikir sunnah setelah shalat wajib kemudian mereka dengan
tiba-tiba mengulurkan tangan untuk berjabat tangan ke kanan dan ke kiri dan
seterusnya yang memaksa mereka tidak tenang dan terganggu, bukan hanya karena jabatan
tangan akan tetapi karena memutuskan tasbih dan mengganggu mereka dari dzikir
kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala karena jabat tangan ini padahal tidak ada
sebab-sebab berupa perjumpaan atau semisalnya.
Jika
permasalahannya demikian, maka bukanlah termasuk dari hikmah jika anda menarik
tangan Anda dari tangan orang disamping Anda yang terulur pada Anda. Karena ini
sesungguhnya adalah sikap yang kasar yang tidak dikenal dalam Islam. Akan
tetapi ambillah tangannya dengan lemah lembut dan jelaskan kepadanya kebid’ahan
jabat tangan ini yang diada-adakan manusia. Betapa banyak orang yang terpikat
dengan nasihat dan dia orang yang pantas dinasihati.
Hanya
saja ketidaktahuan telah menjerumumskannya kepada perbuatan menyelisihi sunnah.
Maka wajib atas ulama dan penuntut ilmu menjelaskannya dengan baik. Bisa jadi
seseorang atau penuntut ilmu bermaksud mengingkari kemungkaran, tetapi tidak
tepat memilih metode yang selamat. Maka dia terjerumus ke dalam kemungkaran
yang lebih besar daripada yang diingkari sebelumnya. Maka lemah lembutlah wahai
da’i-da’i Islam. Buatlah manusia mencintai kalian dengan akhlak yang baik
niscaya kalian akan menguasai hati mereka dan kalian mendapati telinga yang
mendengar dan hati yang penuh perhatian dari mereka. Karena tabiat manusia lari
dari kekasaran dan kekerasan (Tamam Al kalam fi Bid’ah Al Mushafahah Ba’da As
Salam hal. 23). [Dinukil dari SALAFY Edisi XIV/Syawal/1417 H/1997 M]
Maksiat
dalam Berjabat Tangan
Berjabat
tangan dengan wanita yang bukan mahram / wanita asing (ajnabi) merupakan
bencana yang banyak menimpa kaum muslimin, tidak ada yang selamat darinya
kecuali orang yang dirahmati Allah.
Perbuatan
ini haram berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. “Artinya :
Seseorang ditusukkan jarum besi pada kepalanya adalah lebih baik baginya
daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya” [Hadits Shahih, Lihat
takhrijnya secara panjang lebar dalam "Juz'u Ittiba' is Sunnah No. 15 oleh
Adl-Dliya Al-Maqdisi -dengan tahqiqku].
Keharaman
perbuatan ini diterangkan juga dalam kitab-kitab empat Imam Madzhab yang
terkenal [Lihat 'Syarhu An Nawawi ala Muslim 13/10, Hasyiyah Ibnu Abidin 5/235,
Aridlah Al-Ahwadzi 7/95 dan Adlwau; Bayan 6/603]
[Disalin
dari Kitab Ahkaamu Al-Iidaini Fii Al-Sunnah Al-Muthahharah, edisi Indonesia
Hari Raya Bersama Rasulullah, oleh Syaikh Ali Hasan bin Ali Abdul Hamid,
Al-Atsari, terbitan Pustaka Al-Haura, penerjemah Ummu Ishaq Zulfa Husein]
0 Responses to "Hukum Jabat Tangan I"
Posting Komentar