Nama itu semakin mendapat tempat dihatiku,
kala takdir Allah memperpedek jarak antara aaku dengannya. Jarak yang
memungkinkanku untuk lebih mengenal pribadi dan karakternya. Meski dengan
caraku sendiri dan tanpa seorangpun yang
mengetahui. Apalagi statusku sebagai staf Yayaasan di pondok, ditempat dia
mengajar, makin menyamarkan penyidikanku tentangnya. Selama satu bulan lebih,
merah jambunya hatiku tetap menjadi rahasiaa pribadiku, karena aku masih punya
satu alasan, malu.
Aku
bukanlah seorang Ustadz (yang memang kebanyakan Ahkwat mendambakan mereka). Aku
hanyalh seorang pemuda desa yang minim Ilmu
dan pengalaman. Sedangkan keluargaku, jauh untuk dikatakan sebagai keluarga islami. Sahalat saja, belum menjadi agenda harian mereka. Kalau aku menjadi Staf yayasan Islaam, Allah sajalah yang menghendaki. Kemudian lantaran perhatian Ustadz yang selama ini membimbingku, Wallahu A’lam.
dan pengalaman. Sedangkan keluargaku, jauh untuk dikatakan sebagai keluarga islami. Sahalat saja, belum menjadi agenda harian mereka. Kalau aku menjadi Staf yayasan Islaam, Allah sajalah yang menghendaki. Kemudian lantaran perhatian Ustadz yang selama ini membimbingku, Wallahu A’lam.
Disamping
itu, Aku hanyalah seorang penjaga took, yang terkadang ikut paman jadi buruh
bangunan. Kesimpulannya, taka da yang bisa ku banggakaan dan membuatku percaya
diri untuk meminang gadis yang berstatus sepertinya, baik ilmu, nasab ataupun
harta.
Indah
namanya telah menyelinap masuk kedalam keeping hatiku, jauh hari sebelum ku
mengenalnya.
Sebauh
nama yang menggambarkan sebuah keteguhan hati, demikian presepsi yang muncul
pertama kali dalam benakku, ketika menemukannya dalam sebuah majalh islam
kesayanganku.
Seiring
berjalnnya waktu, getar nama itu makin mengusikku, namun aku hanya bisa pasrah,
selain tak punya pilihan dan keberanian.
Hanya doa di kepekatan malam yang dapat kulantunkan. Ah…, betapa
memalukan diriku ini. Ikhwan kog jatuh cinta. Tapi salahkah ?
Tak ku
sangka, seorang ustad menawariku untuk menikah. Awalnya aku menolak dengan
dalih aku masih terlalu muda dan belum
siap. Namun ketika disebut sebuah nama, lidahku berubah kelu. Kepala ku yang
tadi berulang kali memberikan gelengan tiba-tiba saja surut dan berubah jadi
anggukan. Namun begitu , satu keraguan
kembali menyandungku. “mungkinkah
dia bersedia denganku ?” tanyaku pelan. Dengan tersenyum bijak, beliau menepuk
pundakku sembari meyakinkan “Insya
Allah.” Sejak itu hari-hariku menjadi lebih berwarna.
Tiga
bulan kemudian, murabbiku mengatakan kalau si pemilik nama itu ternyata belum
siap, Apalagi dia juga masih punya kakak perempuan yang belum menikah. Nama itu tak menyurutkan
harapanku. Bukankah dia Cuma belum siap! Toh aku pun sebenarnya belum siap juga
? Ah, masih ada harapan.
Ternyata
aku tak sendiri
Sore
itu waktu Ashar baru saja bergeser meninggalkan tapak para jama’ah yang pulang
dari masjid. Aku massih terpaku di
serambi, sekedar melepass lelah setelah bekerja ssejak tadi pagi. Tanpa sadar
pandanganku menangkap sesosok yang sekilas kuyakini seorang ustadz duduk di
teras masjid. Tapi baru kali ini aku melihatnya, dia juga bukan penduduk
pesantren. Ketika aku berjalan keluar,
dia melemparkan senyum ramahnya
dan meyapaku akrab dengan ramah dan santun. Setelah agak lama
berbasa-basi, dari mana asalnya dan apa keperluannya? Ia pun menjawab semua nya sembari bercerita tentang
kisah yang melatar belakangi kedatangannya, satu cerita yang menghentak
sanubariku dengan sebuah fakta, bahwa bukan hanhya aku ssaja yang penasaran
akan si pemilik nama, boleh jadi nama itu telah menyita banyak perhatian.
Ibarat Bungan yang semerbak harum, tertebar pesonanya. Meski aku yakin dia tak
pernah menyengajanya.
Ah, bagaimana kalau ikhwan itu
lebih cepat dariku ?? dia punya segalanya; Ilmu, gelar Ustadz, tampang dan
mungkin harta?
Malamnya,
mataku tidak mau diajak terpejam, padahal tubuhku terasa lelah ssetelah
seharian terkuras tenaganya. Entahlah,
hatiku diliputi oleh ketakutan, was-was akan hilangnya sebuah nama yang
terlanjur terpatri dihatiku. Astaghfirullah,
aku sadar telah terjerumus dalam perangkap setan, zina hati yang amat mematikan diakhir shalat
malam satu tekat tiba-tiba tumbuh begitu kuat, memantapkanku akan sebuah
keputusan. Aku tak ma uterus menerus terjerat dan terkungkung dalam ubangan
dosa terselubung. Aku tak ingin lagi menambah dosa yang sudah banyak tertumpuk,
aku tak ingin ketulusan ini ternoda. Aku harus memulai karena aku yang
menginginkan! Bismillah, semoga
inilah yang terbaik dan Allah ridhai.
Syaratnya
Sungguh mempesona
Dengan
alas an silaturrahmi, kuutarakan semua persoalan kepada ustadzku. Dengan
menekan rasa malu, kuceritakan akan semua yang terjadi; mulai isu tak sedap
yang beredar, fitnah yang menodai kessucian hatiku, sampai pengamatan yang
kulakukan secara ssembunyi-sembunyi. Kepalang basah, kalau malu ya malu
sekalian. Begitu fikirku. Kelgaan memenuhi ruang di dadaku kala sang ustadz
menyanggupkan diri menjadi mediator dan memintaku untuk sabar menunggu
perkembangan selanjutnya.
Ya Allah sekali lagi aku harus
menunggu! Benarkah ungkapan yang mengungkapkan bahwamenunggu adalah pekerjaan
yang menjemukan. Kehadiran akan saingan membuat penantianku terassa lebih berat
dan menegangkan. Ya Allah… apakah rasa ini juga di alamu hamba-hambamu selain
aku?
Saat yang kunantikan pun tiba,
ketika ustadz menemuiku. Lama beliau terdian dan hanya sesekali nafasnya
terdengar. Aku curiga ditengah kekhawatiran yang menggunung akan sebuah penolakan, walau ku sadar aku
layak untuk di tolak namun sedini itukah hal itu menimpaku?
“bagaimana
Ustadz?” tanyaku tak sabar. Sesekali ustadz menatapku, Lalu mengalirlah tentang
cerita tentang si pemilik nama; apa yang dia inginkan dan bagai mana kriteria
suami yang dia dambakan. Aku tertunduk lunglai, meskipun ini bukan sebuah
penolakan. Namun, mungkinkah bagiku memenuhi apa yang di pinta? sedangkan aku.
Sejujurnya akupun sangat terpesona dengan permintaanya. Permintaan yang tak
pernah ku bayangkan sebelumnya, permintaan akan sesuatu yang dulupun pernah
menjadi impianku. Aku harus sekolah lagi,
aku harus masuk pesantren terlebih dahulu. Tapi mungkinkah hal itu mampu
ku wujudkan sekarang, kalau dulu saja aku tak mampu ?!
Bismillahirrahmanirrahim….
0 Responses to "Ya Allah, Izinkan Aku Meminangnya"
Posting Komentar